Sabtu, 31 Mei 2008

PERSIAPAN MENGHADAPI PSIKOTEST


Sumber: Tempo News Room

Jika suatu ketika Anda mengikuti psikotes, konsultan pada Dunamis Intermaster, Tomy Sudjarwadi, menyarankan untuk mempersiapkan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, Anda harus yakin terlebih dahulu bahwa posisi yang akan dimasuki lewat tes itu bukan semata-mata karena pertimbangan ekonomis, yakni untuk mendapatkan pekerjaan dan uang saja. Namun, harus ada unsur kecocokan dengan kemampuan.

Kedua, persiapkan diri dengan istirahat yang cukup. Seringkali, seseorang sebenarnya mampu mengerjakan tes. Namun, ketegangan membuat hasil tes menjadi jelek. Oleh karena itu, Anda harus beristirahat satu atau dua hari sebelumnya agar kondisi fisik menjadi prima.

Ketiga, jangan melihat jawaban orang lain. Pasalnya, hal tersebut akan membuat hasil Anda bertentangan dengan kondisi pribadi yang sesungguhnya. Isilah apa adanya. Jangan lupa untuk menjawab apa yang Anda ketahui terlebih dahulu.

Keempat, setiap psikotes ada pemetaannya. Artinya, setiap tes ada tujuannya. Ada tes ketelitian, kreativitas, dan kecerdasan. Hal-hal seperti ini harus diantisipasi dari awal. Jadi, persiapkan mental sejak awal. (Hilman Hilmansyah - Tempo News Room)

Selasa, 29 April 2008

ujian nasional dan tumpukan dosa siapa

Ujian Nasional dan hasilnya
Ujian Nasional tingkat slta thn 2008 baru saja usai. Banyak persoalan yang tersisa, mulai dari pertanggung jawaban pembiayaan (baik yang bersumber dari masyarakat maupun yang bersumber dari kas daerah atau kas negara) sampai pada pertanggung jawaban moral para pendidik kepada masyarakat siswa, orang tua siswa, masyarakat umum, termasuk kepada para user tamatan slta. Sisa-sisa persoalan ini selalu saja akan terjadi tahun demi tahun, selama ujian nasional dengan format seperti ini dilaksanakan.
Pemerintah berargumentasi bahwa ujian nasional ini sangat diperlukan sebagai bagian dari kendali mutu penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Apakah argumentasi itu murni atau tidak saya kira sulit untuk dipastikan kemurniannya. Kalau dikatakan itu murni untuk pengendalian dan pemetaan mutu pendidikan lantas kenapa perguruan tinggi tidak ikut ujian nasional. Harusnya ikut juga dong, supaya benar-benar seragam. Seringkali juga yang namamya manusia dapat berargumentasi sangat rasional dan logis karena didorong oleh suatu kepentingan yang lain seperti misalnya keterkaitannya dengan soal proyek. Tapi ya sudahlah mau alasannya murni atau tidak toh ini sudah berjalan sekian tahun.
Dari sisi kepentingan dan kegairahan ekonomi tentu ujian nasional ini bisa merangsang pertumbuhan dan kegairahan. Begitu banyak yang terlibat baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam kegiatan perekonomian terkait dengan proyek ujian nasional, mulai rezeki tukang sayur atau sembako, rezeki para pendidik, rezeki para petugas keamanan, rezeki mahasiswa dan dosen, rezeki para komunitas angkutan umum dan ojeg, rezeki para pedagang dan pengusaha atk, rezeki lembaga2 kursus, rezeki para uztad, dan rezeki para pejabat atau petugas yang berkaitan lansung dengan kebijakan ujian nasional ini, luar biasa. Berapa banyak uang negara dan uang masyarakt yang harus terbelanjakan untuk sukses ujian nasional ini. Maksudnya suskses bukan hasil atau dampak positipnya, tapi keterselengaraannya. Apakah pengorbanan yang sebesar itu sudah tergolong pada sisingkan lengan bajumu unutk negara ?
Hasilnya???
Kita akn lihat hasilnya dari berbagai sudut :
a. Tingkat Kelulusan, tingkat kelulusan yang mendekati angka 100 persen tentu itu yang diharapkan oleh pemerintah dan juga oleh siswa dan para orang tua dan para pendidik atau tenaga kependidikan.
Pak Mendiknas mewakili pemerintah akan berbicara puas dan bangga terhadap pelaksanaan ujian nasional apabila tingkat kelulusan meningkat dari tahun lalu, dengan asumsi bahwa sdh terjadi peningkatan kualitas pendidikan secara nasional.
Terbebanikah pak menteri ketika melaporkan hasil ujian nasional itu dengan prosentase yg naik dari tahun lalu?
Yakinkan pak menteri bahwa mutu pendidikan nasional telah meningkat?
Sepertinya pertanyaan itu tidak perlu buat pak menteri, karena pak menteri kan hanya membacakan laporan yang dibuat oleh para staf di organigramnya.
Para siswa akan bahagia bila dirinya dinyatakan lulus dari sekolahnya, dan biasanya dilampiaskan dengan bertemu teman2nya dan berpesta dengan cara mereka sendiri dalam merayakan kelulusanny, mereka tidak akan sadar kalau sesungguhnya sebagian (mungkin bisa jadi sebagian besar) dari mereka sesungguhnya tidak tau apa-apa. Mereka lulus bukan karena mereka mampu menjawab soal ujian dengan benar tapi mereka memang dinyatakan memenuhi kriteria berdasarkan hasil scanning lembar jawaban komputer. Mereka tidak taukan kalau LJK mereka telah diperbaiki oleh tim suksesny, atau mereka kan telah mendapatkan bantuan jawaban dari teman di kelasnya atau teman di sekolahnya atau bahkan dari temannya di sekolah lain, dengan cara smsan. Darimana sumber jawaban itu, bisa dari sesama tapi bisa juga dari para pendidiknya.
Bolehkah cara2 seperti itu?,
Salahkah mereka?
Berdosakah mereka?
Menyesalkah mereka?
Semua pertanyaan itu tak ada dibenak mereka, yang mereka rasakan mereka telah berhasil melampaui lubang jarum UJIAN NASIONAL, dan mereka berhak mendapatkan IJAZAH.
Para orangtua sama bahagia dan bangga melihat anaknya telah berhasil lulus ujian nasional, sehingga seberapapun uang yang telah dikeluarakan untuk membayar ujian, kursus, membeli buku sudah tidak terpikirkan lagi.
Para pendidik dan tenaga kependidikan bahagia melihat siswanya banyak yang lulus, tapi sebagian dari mereka tidak punya kebanggaan, karena sesungguhnya selama ini yang bekerja keras bukan muridnya tapi para gurunya.
b. Kualitas Kelulusan, sebagian besar user dari tamatan yaitu lembaga pendikan lanjutannya kebanyakan mengeluh dengan rendahnya tingkat kemampuan para siswa barunya, mahasiswa barunya, karena ternyata hasil ujian nasional itu tidak mewakili kemampuan yang benar dari siwa atau mahasiswa yang bersangkutan. Lantas untuk apa dilaksanakan ujian nasioanl kalau tidak bisa meberikan representasi dari kemampuan siswa. Ya itulah, makanya saya ragu dengan argumentasi pemerintah itu. Saya pribadi tidak yakin Indonesia bisa menjadikan ujian nasional dengan format selama ini bisa mengendalikan peningkatan mutu pendidikan secara nasioanl..
c. Yang tidak lulus, mereka kasihan, karena sekolahnya tak melakukan apapun.
Menurut saya mestinya sekolahnya dapat apreiasi karena telah berbuat tidak tidak melacurkan dirinya dalam ujian nasional ini. Tapi perlu kita tinjau juga sebelum mereka (pengelola sekolah) kita beri apresiasi;
Apakah selama ini telah tersedia persyaratan standar minimal pembelajaran disekolah ini?
Apakah disekolah ini sudah tersedia kurikulum yang pas dengan standar kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah?
Bila kurikulum dan standar peraltan pembelajaran suda ada apakah para pendidik sudah melaksanakan pembelajaran itu secara benar, setidaknya sesuai dengan taksonomi Bloom?
dan Apakah target pencapaian kurikulum selama ini sudah tercapai, begitu juga dengan daya serapnya?
Adakah rasa berdosa para pandidik ketika tidak bisa hadir mengajar anak-anak ini waktu kelas
satu dulu?
Bila semua pertanyaan diatas dijawab dengan ya, maka mereka yang tidak melakukan apapun ketika ujian nasioanl patut di acungkan jempol.
Tidakkah kita kasihan kepada mereka yang tidak lulus. Ow tidak ada yang perlu dikasihani, karena kalau semua yang diatas itu sudah dilaksanakan denagn baik maka semuanya akan lulus 100 persen. Inilah saatnya kita perlu berbangga hati, bahwa mutu pendidkan kita sudah berhasil
Waduh mulia betul ya profesi guru kalau begitu keadaanny. Ya begitulah, makanya jadi guru memang harus ada pangilan hati.

Tumpukan dosa siapa
Kok kita membicarakan dosa ya. Apa hubungannya dengan ujian nasional. Dosa itu kan sesuatu yang meninglkan kewajiban yang diperintahkan agama kita atau menegerjakn sesuatu yang dilarang oleh agama kita. Lantas bagaimana dengan segala macam cara yang dilakukan oleh kaum pendidik atau yang dilakukan oleh pengelola sekolah untuk membantu kelulusan anaknya.
Menurut saya yang dilakukan oleh sekolah itu atau para pendidiknya adalah penebusan dosa masa lalunya karena banyak hal yang selama tiga tahun ini banyak kewajiban yang tak terlaksana. Apakah para pendidik itu ga merasa bersalah ketika melakukan berbagai upaya untuk meluluskan para siswanya dari ujian nasioanal. Ya sudah begini aja, para pembaca merasa bersalah ga ketika ditilang sama polisi kemudian kita sendiri menawarkan damai saja dengan pak polisi yang penting jangan ditilang. Atau para pembaca merasa berdosa ga ketika para pembaca dihadpkan pada satu persoalan genting kemudian kita meilih jalan lain saja daripada mendapatkan hasil yang tidak baik. Jawabannya ada pada pengalaman para pembaca.
Harusnya yang perlu kita prihatinkan adalah dosa siapakah yang mebuat para siswa2 itu ga lulus. meskipun banyak diantara mereka yang lebih sukses dari pada yang lulus, apakah ujian nasioanl ini menjadi justifikasi bagi kari pendidikan anak kiat di indonesia.
Tidakkah kita prihatin seberapa besar uang rakyat yang dijadikan subsidi pendidikan dan tidak sapai pada yang seharusnya.
Tidakkah kita prihatin betapa banyak uang negara dibelanjakn untuk hal2 yang tidak urgen. Tidakkah kita prihatin terhadap para panutan kita selama ini, ternyata telah merampas uang rakyat.
Dan kita sekarang ini sedang mencetak anak bangsa, dengan contoh yang sekarang ini. Kalau begitu mereka ini nantinya akan lebih dasyat dong, wallohualam

terima kasih

Pussy

Hello World

Blog pertama saya